Patricia Susana Ujan
Pagi ini, cuaca begitu dingin. Waktu sudah menunjukan pukul 06.45, tapi suasana sekolah masih begitu sepi.
Aku duduk termenung di kelas sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan di hari guru ini. Ya, hari guru. Dimana seluruh siswa di seluruh Indonesia akan merayakan hari guru nasional tepat tanggai 25 november ini.
Para guru sangat berjasa padaku. Seingatku, mereka tidak pernah lelah memeberikan seluruh ilmunya yang kelak sangat bermanfaat untuk masa depan seluruh siswa.
“Dorrrrrrr…!! Sedang pikirkan apa kamu?” Tanya Ona sambil mengagetkanku.
“Ada apa? Bikin kaget saj,” jawabku dengan kesal sambil memegang dada.
“He…he…he…., Maaf, kawan.” Jawab Ona sambil mengangkat dua jarinya membentuk huruf
“Oh iya, sentar lagi sekolah kita akan memperingati hari guru. Kalau boleh tahu siapa guru favoritmu?”
“Itu………………….”
Tettttt……tetttt…..tettttt…….
Bel tanda masuk berbunyi. Aku belum sempat menjawab pertanyaan dari Ona tadi. Ona pun kembali ke tempat duduknya, Karena jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Saat aku mengingat jasa para guru, aku teringat dengan sosok guru yang memotivasi hidupku. Beliau bernama Pak Iwan
“Siap.. beri salam.” Aba-aba dari sang ketua kelas.
“Selamat pagi pak,” jawab kami para siswa dengan semangat.
“Selamat pagi semua,” balas Pak Iwan dengan senyumnya.
Pak Iwan adalah guru yang kadang humoris dan kadang serius. Beliau sering menyampaikan motivasi bagi para anak didiknya. Motivasinya sangat berguna bagi diriku dan juga teman-teman. Tetapi, banyak teman yang menganggap motivasi beliau adalah angin yang berhembusan.
Aku sempat berpikir “bagaimana cara agar aku bisa sukses dan bermanfaat bagi orang-orang. Bagaimana juga caraku membahagiakan kedua orang tuaku?” tapi aku mengingat perkataan yang keluar dari mulut Pak Iwan bahwa “kita bisa menjadi sukses dan dapat bermanfaat bagi banyak orang jika kita rajin belajar, bekerja keras, dan jangan lupakan berdoa kepada Tuhan. Kita bisa membahagiakan kedua orang tua kita dengan nilai diakhir ujian nanti.”
Aku mencoba merenungkan kata-kata beliau, hingga aku terbawa dalam lamunan.
“Trisna….Tris…Trisssssna,” Ona memanggilku dengan nada kesal dan berteriak kecil.
Aku langsung melihatnya sambil berkata, “Ada apa Ona. Kenapa teriak-teriak. Kalau Pak Iwan dengar, bagaimana?”
“Aku memanggilmu sedari tadi, tapi kamu sibuk melamun. Kamu belum menjawab pertanyaanku yang tadi,” kata Ona.
Aku memasang wajah bingung dan bertanya, “ pertanyaan yang mana?”
“Itu loh, siapa guru favoritmu. Kamu masih muda kok udah pikun sih?” jawab Ona dengan tambahan kata-kata mengejek. Ternyata dia masih penasaran dengan guru favoritku itu.
“Oh, yang itu. Guru favoritku itu Pak Iwan,” jawabku sambil melihat beliau yang sedang mengajar didepan kelas.
“Apa sih yang kamu lihat dari Pak Iwan,Trisna?” Tanya ona.
“Pak Iwan selalu menyempatkan diri untuk memotivasi kita mengapa ilmu itu bagi masa depan kita. Ia juga memberitahukan cara membuat orang tua kita bisa bangga, sehingga uang yang dikeluarkan untuk biaya sekolah tidak sia-sia,” Jawabku sambil menatap Ona sambil tersenyum.
Guru ibaratkan pelita. Mereka mampu menerangi masa depan para murd-muridnya. Mereka punya 1001 macam cara agar kami para siswa bisa berguna bagi bangsa dan Negara. Kelelahan para guru tidak pernah diperlihatkan di depan para siswa.
Mereka tidak akan menyerah sampai seluruh anak didiknya menjadi sukses. Terbukti, siswa yang sangat nakal sekarang menjadi orang yang sukses. Mereka sukses bukan hanya menjadi pejabat, tetapi juga ada yang sukses di bidang pertanian, perdagangan dan juga yang menjadi wiraswasta. Para guru tidak pernah meminta imbalan atas jasa yang sudah mereka berikan kepada kita.*
Jadilah yang pertama berkomentar di sini